Sudah tiga minggu berlalu sejak kecelakaan itu, dan saya masih merasa kesulitan mengajak lengan atas tangan kiri saya untuk bergerak, bahkan untuk sekedar membantu menekan tombol “shift” di keyboard laptop.
Rabu, 22 April 2020, sekitar pukul 7:30 saya berangkat dari Cileungsi menuju rumah bos saya di Cikarang untuk mengambil beberapa barang untuk keperluan proyek yang sedang kami kerjakan. Setelah Situ Tunggilis, saya belok kiri, potong jalan tembus ke arah Jatisari.
Jalan yang dulu rusak parah, seperti kubangan kalau habis hujan, kini sudah dicor bagus. Jalanan lengang sekali, mungkin efek PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang sedang diterapkan pemerintah, yang menyebabkan banyak perusahaan dan instansi memilih untuk menghentikan sementara kegiatan mereka.
Saya melaju dengan kecepatan sedang, kira-kira 30 – 40 km/jam. Cuaca yang cerah pagi itu membuat pandangan saya silau, karena kaca helm yang saya pakai sudah banyak goresan. Memang sudah waktunya diganti.
Lalu, tiba-tiba . . . BRAAKKK . . .
Saya menabrak polisi tidur yang tidak terlihat sama sekali oleh saya. Motor Honda Beat jadul saya oleng tidak terkendali dan jatuh ke sebelah kiri. Saya merasakan helm saya sempat terbentur permukaan jalan, dan saya terseret motor sekitar 10m. Ketika berhenti saya merasakan sakit yang sangat di bahu kiri, saya langsung menyadari bahwa ada yang salah di sana.
Warga sekitar berdatangan untuk menolong saya. Saya dibawa ke masjid yang tepat berada di pinggir jalan di mana saya terjatuh. Seorang warga memanggilkan tukang urut, yang datang dalam menit, dan segera mengurut saya.
“Gak papa, nanti juga pulih,” ujarnya setelah memeriksa dan mengurut saya.
Saya berusaha menggerakkan tangan kiri saya, tapi lengan atas saya ternyata tidak mau bergerak. Ini berarti saya tidak bisa melanjutkan perjalanan atau pulang sendiri dengan naik motor.
Oh ya, motornya saya lihat tidak mengalami banyak kerusakan, hanya goresan-goresan di bodi dan spion kanan copot.
Saya terpaksa menelepon bos untuk menjemput saya.
Singkat cerita saya dibawa ke UGD RS Hermina, Cileungsi untuk pemeriksaan dan pengobatan luka-luka yang saya alami. Saya disarankan untuk tes rontgen untuk melihat kondisi tulang di bahu saya, tapi saya menolak. Saya memilih untuk pulang dan melakukan pengobatan alternatif.
Menurut ahli tulang di mana saya berobat, engsel bahu saya geser. Setelah menjalani terapi sebanyak 4 kali, saya merasakan kondisi bahu saya yang semakin membaik. Tapi tampaknya bakal butuh waktu yang panjang untuk benar-benar pulih seperti sedia kala.
Ini bukanlah kecelakaan yang pertama saya alami, tapi ini adalah yang paling parah, dan semoga menjadi yang terakhir.
Banyak pelajaran yang saya dapat saya petik dari kecelakaan ini, saya bagikan di sini agar kecelakaan serupa tidak menimpa orang lain.
Bikin polisi tidur itu ada aturannya
Sebenarnya sudah lama saya memperhatikan banyak poldur yang dibuat tanpa mengindahkan aturan yang berlaku. Di beberapa tempat bahkan tampak bahwa setiap orang bisa membuat poldur sendiri-sendiri di depan rumahnya, biasanya hal ini terjadi di perumahan.
Menurut Permenhub No. 82 Tahun 2018 tentang Alat Pengendali Dan Pengaman Pengguna Jalan, pembatas kecepatan meliput speed bumb (hanya pada area parkir, jalan privat, atau jalan lingkungan terbatas dengan kecepatan operasional di bawah 10 sepuluh kilometer per jam), speed hump (digunakan hanya pada jalan lokal dan jalan lingkungan dengan kecepatan operasional di bawah 20 kilometer per jam.), dan speed table (digunakan pada jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan serta tempat penyeberangan jalan dengan kecepatan operasional di bawah 40 kilometer per jam).
Baik speed bump, speed hump, maupun speed table mempunyai standar ukuran yang diatur pada pasal 3 (ukuran detailnya silahkan simak pada Permenhub tersebut).
Yang tak kalah penting, pembatas kecepatan haruslah mempunyai kombinasi warna kuning atau putih berukuran 20 (dua puluh) sentimeter dan warna hitam berukuran 30 (tiga puluh) centimeter. Warna ini penting agar mudah terlihat oleh pengendara yang lewat. Seperti kasus yang saya alami, poldur tidak terlihat karena mempunyai warna yang sama dengan permukaan jalan.
Jaga Konsentrasi
Jaga konsentrasi untuk melihat kondisi jalan. Sesungguhnya berkendara itu bukan suatu pekerjaan yang dapat dilakukan dengan multi threading, jadi sebaiknya jangan berkendara sambil melamun, ngobrol, mendengarkan musik, apalagi sambil membaca atau berkirim pesan lewat hape. Berbahaya sekali, Masbro.
Jaga Kecepatan
Jaga kecepatan pada batas kendali, terutama jika melewati jalan yang belum kita kenal. Karena bisa jadi ada kondisi jalan yng tidak kita duga, seperti lubang, pasir, dan lain-lain, termasuk poldur seperti pada kasus saya.
Gunakan safety gear secara maksimal
Yup, karena kita tidak tahu kapan dan di mana kita akan mengalami kecelakaan, yang tentu saja tidak kita inginkan. Alhamdulillah, helm dan sarung tangan yang saya pakai telah mencegah akibat yang lebih buruk dari kecelakaan yang saya alami. Sayangnya saat kecelakaan terjadi saya hanya memakai kaos lengan panjang. Kalau saja saya memakai jaket yang lebih tebal, apalagi dengan protector sikut dan bahu, mungkin saya akan terhindar dari akibat yang saya alami.
Jangan lupa berdoa sebelum berkendara
Banyak hal bisa terjadi di jalan raya di luar kemampuan kita untuk menghindar dan mencegahnya. Kadang kita sudah hati-hati banget, eh . . . ada orang nyelonong potong jalur kita. Nah, dengan berdoa, semoga Allah selalu melindungi kita dari hal-hal yang tidak kita inginkan.
Ok, mungkin saya sudah terkesan menggurui. Percayalah nasihat terbaik kadang datang dari orang yang telah mengalami hal terburuk, seperti saya ini 🙂
Emang nih yg bikin poldur byk yg gak sesuai aturan, disini pernah ada yg bikin depan sekolah, karena posisinya di jalanan menurun kalo hujan, pasir menumpuk, disisi poldur, pernah kejadian ada yg kecelakaan sampai kelindes baru dibongkar
Semoga cepet sembuh wak